Selasa, 17 Januari 2012

LEMBAGA PERTANIAN TERHADAP PEMBANGUNAN PERTANIAN “

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan memang tidak pernah selesai. Amerika dan Jepang yang sudah merasa menjadi Negara paling hebat dalam segala bidang pun sampai saat ini masih sibuk dengan rencana-rencana pembangunan proyek baru maupun proyek-proyek pembangunan lain yang harus dibuat karena munculnya macam-macam masalah akibat pembangunan masa lampau. Misalnya pelbagai pembangunan untuk menanggulangi pencemaran setempat maupun pencemaran dunia secara gloal. Bagaimana membangun usaha pertanian tanpa bahan kimia penyebab pencemaran dan lain-lain. Maka Indonesia pun terasa sanat ketinggalan dalam bidang pembangunan
Pembangunan pertanian nasional mencatat bahwa dalam upaya pemberdayaan masyarakat terutama petani kecil, pemerintah telah menerapkan berbagai sistem kelembagaan dan kemitraan dikarenakan tingkat kesejahteraan petani terus menurun sejalan dengan persoalan-persoalan klasik yang dialaminya, sekaligus menjadi bagian dan dilema dari sebuah kegiatan usahatani di tingkat produsen pertanian. Tingkat keuntungan kegiatan usahatani selama ini lebih banyak dinikmati oleh para pedagang dan pelaku usahatani lainnya di hilir (Sumodiningrat, 2000). Oleh karena itu, diperlukan kelembagaan pertanian yang mampu memberikan kekuatan bagi petani (posisi tawar yang tinggi). Kelembagaan pertanian dalam hal ini mampu memberikan jawaban atas permasalahan di atas. Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh petani, agar mereka dapat bersaing dalam melaksanakan kegiatan usahatani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya (Suhud, 2005).
Lembaga yang dibuat dan telah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari yang dibiayai dan dibina secara penuh oleh pemerintah, lem¬baga kerjasama pemerintah dan pihak swasta, sampai pada lembaga yang didanai oleh pihak swasta. Lembaga-lembaga tersebut telah berjalan dan mengalami masa pasang dan masa surut, sesuai dengan keberadaannya, tujuan pembentukannya, ke¬mam¬puan personal penge¬lolanya, maupun manfaatnya pada masyarakat.

Peran Kelembagaan Pertanian

Berbagai permasalahan dalam bidang agribisnis selalu muncul mulai yang berkaitan dengan proses produksi, pascapanen (pengeringan, sortasi, dan lain-lain), penyimpanan, pengangkutan dan pemasaran. Sejauh ini proses produksi dan penanganan hasil panen komoditas lebih banyak menekankan pada kemampuan dan keterampilan petani secara individu. Proses yang melibatkan kelembagaan, baik dalam bentuk lembaga organisasi maupun kelembagaan norma dan tata pengaturan, pada umumnya masih terpusat pada proses pengumpulan dan pemasaran dalam skala tertentu. Kelembagaan pertanian dan petani belum terlihat perannya dalam mengatasi permasalahan tersebut. Padahal fungsi kelembagaan agribisnis sangat beragam, antara lain adalah sebagai penggerak, penghimpun, penyalur sarana produksi, pembangkit minat dan sikap, dan lain-lain.
Sistem produksi pertanian di Indonesia umumnya dicirikan oleh kondisi sebagai berikut: (1) skala usaha kecil dan penggunaan modal kecil; (2) penerapan teknologi usahatani belum optimal; (3) belum adanya sistem pewilayahan komoditas yang memenuhi azas-azas pengembangan usaha agribisnis; (4) penataan produksi belum berdasarkan keseimbangan antara supply dan demand; dan (5) sistem panen dan penanganan pascapanen yang belum prima; serta (6) sistem pemasaran hasil belum efisien dan harga lebih banyak ditentukan oleh pedagang (Balitbang Deptan, 2007).